Seperti biasa, Zhea sudah mengajakku ke Bukit Po untuk melihat senja. Kami memang sering ke tempat ini, hanya untuk sekedar bermain, mengobrol dan tentunya melihat sang senja. Kami sudah berteman sejak aku dan Zhea masih kecil, sejak umur kami sekitar 5 tahun. Aku menemukannya tepat disini, menari di bawah hujan dengan memakai jas hujan dan payung berwarna putih. Aku hanya tersenyum jika kejadian itu berputar di otakku.
“Eh, Zhe, apa sih arti dan makna senja buat kamu.” Aku mencoba memulai pembicaraan.
“Kenapa emangnya ?.”
“Ya.. hampir tiap hari kamu liat senja di sini, sama aku. Tapi aku nggak tau kenapa kamu suka banget sama senja.” Aku tersenyum sedikit, masih ikut memandangi senja. Memang benar, hampir setiap hari Zhea mengajakku untuk melihat senja di sini, di Bukit Po. Semua orang memanggil bukit ini dengan julukan Bukit Po, mungkin karena bukit ini sama seperti bukit yang ada di kartun teletubies itu.
“Huh, akujuga nggak tau.” Katanya “Aku cuman suka aja sama senja. Aku suka warnanya yang nggak selalu sama.” Lanjutnya, menatapku.
“Kenapa ?” Tanyaku lagi. Masih sangat penasaran. Zhea, ia memang selalu sukses membuatku penasaran seperti ini.
Zhea tersenyum “Kamu tahu kan, kalau kadang warna senja itu oranye, pink, kuning, dan kadang berwarna jingga menyala, seperti awan membakar khatulistiwa. Aku suka senja karena ia adalah awal dan akhir dari ketenangan dan kekhawatiran aku akan hari ini.”
“Puitis banget.” Kataku menggodanya.
“Apaan sih..” Ia menonjokku tepat di bahu.
“Tuh, warna kesukaan kamu." Seruku, saat aku melihat warna senja yang seperti ‘membakar khatulistiwa.’
“Eh iya, bener. Haha ..” Tawanya lebar.
“Eh, rintik ya ?” Seruku di tengah-tengah tawaku yang sedang membahana.
“Eh iya. Hujan nih.” Ia menengadahkan tangan.
“Pulang aja yuk, Zhe.” Ajakku sedetik kemudian.
“Apaan ? Enggak mau.”
Tepat sekali. Saat warna langit seperti membakar khatulistiwa, ada rintik hujan yang mengawalnya. Zhea juga pernah bilang kalau ia selalu suka saat-saat seperti ini. Wajar saja kalau sekarang ia tidak mau pulang.
“Tuh kan hujannya tambah deres.” Seruku. “Aku pulang duluan nih.” Lanjutku, “beneran nih ya.” Aku sudah berdiri dan hampir berlari.
“Eh, Azka .. Tungguin.”
Benar saja, rintik hujan seketika menjadi sedikit lebih deras. Kami berteduh di bawah halte bus, di dekat Bukit Po. Tidak ada seorangpun disini, kecuali aku dan Zhea. Sudah lama halte ini tidak dipakai lagi, setelah ada halte yang lebih bagus lagi beberapa blok jauhnya dari halte ini. Jaket berwarna abu-abu yang aku pakai sudah hampir basah kuyup terkena air hujan, rintik hujan yang agak deras lebih tepatnya. Aku baru saja akan merapatkan jaketku saat aku mendengar suara gemeletuk di dekatku. Zhea sudah menggigil kedinginan.
“Tuh kan, apa aku bilang, ngeyel sih.” Kataku sedikit ketus. Zhea hanya memandangku. Sepertinya ia benar benar kedinginan.
“Nih, pake.” aku melepas jaketku. “Jadi, sejak kapan kamu suka rintik hujan ?” Lanjutku.
“Sejak hari itu.” Jawabnya. Aku membuka kembali kepingan-kepingan masa lalu yang sudah tertutup. “Sejak aku hujan-hujanan di sana, pake jas hujan sama payung, terus kamu dateng entah darimana..” Ia menunjuk arahnya, tepat di Bukit Po. Di sana juga aku bertemu Zhea untuk pertama kalinya, di sana juga aku punya banyak cerita dengannya. “..ngajak aku pulang dan gitu lah, kamu tahu kan..”
“Iya, kamu nggak mau pulang, terus waktu kamu liat aku udah basah kuyup kamu baru mau pulang.” Kata Azka, ia masih mengingatnya juga. “mana mungkin aku lupa kejadian itu.” Lanjutku, ia tertawa lebar. Aku juga ikut tertawa.
“Haha...Waktu itu kan aku cuman kasian aja sama kamu.”
“Oh, kasian ?”
“Iyalah, padahal aku masih pengin hujan hujanan tau.”
“Hmm .. iya deh, percaya...Terus, kenapa kamu suka rintik hujan ?” Lanjutku, masih belum mendapatkan jawaban yang ku ingingkan.
“Lama-lama kamu kayak wartawan aja deh.” Katanya. Aku hanya tertawa.
“Seriusan.” Kataku.
“Nggak tahu juga .. aku cuman nge-rasa rintik hujan bisa bikin aku luruh. Ia bisa menghapus bayangan bayangan gelap dalam hidup aku.” Jawabnya, menatap rintik hujan yang masih tetap tetap turun dengan deras. Aku hanya tersenyum.
Warna senja yang membakar khatulistiwa masih dan semakin terlihat. Warna yang sangat Zhea sukai, warna yang menurutnya adalah awal dan akhir dari ketenangan dan kekhawatirannya akan hari ini.
“Zhe. Hujannya tambah deres nih.”
“Iya, aku juga tau. Emang mau kamu apain ?” Jawabnya ketus.
“Enggak sih, cuman ngasih tau aja.” Aku tersenyum. Untuk sepesekian detik setelahnya kami terdiam.
“Zhe..” Aku memanggilnya lagi.
“Hemb, apaan sih ?”
“Aku suka sama kamu.”
“Hah ?? Apaa ??” Ia berteriak, mungkin marah atau apalah. “suara kamu kalah sama hujan.” lanjutnya, tersenyum. Aku menghela nafas.
“E..e..enggak, aku cuman bilang kalau sebenernya aku juga suka sama hujan.” Aku ikut berteriak. Ya, hujan semakin deras saja, dan untung saja Zhea tidak dengar apa yg aku ucapkan. Aku hanya memandanginya, rambutnya yang tergerai sesekali tersibak tertiup angin. Maaf Zhe, aku benar benar menyukaimu.
Entahlah, bagaimana memoriku bisa memutar kejadian 6 tahun lalu, saat aku dan Zhea masih duduk di bangku SD, tepat di akhir semester 2 kelas 6. Mungkin perasaanku saat itu hanya seperti ‘cinta monyet.’ Entahlah, apa Zhe mengetahuinya atau tidak. Tapi kami tidak pernah membicarakannya.
Aku duduk di bangku bekas halte ini. Dindingnya yang kotor dan penuh dengan coretan seakan tak tersentuh dan tenggelam diantara hiruk pikuk orang orang yang berlalu lalang, hanya sesekali beberapa orang duduk disini, itupun hanya untuk berlindung dari hujan.
“Ka.” Seseorang memanggilku. Aku menoleh mencari asal suara yang memanggilku.
“Elo darimana aja sih ? Udah gue tungguin dari tadi nggak nongol-nongol.”
“Sorry, tadi gue...” Ia menutup mulut.
“Gue apaan ?”
“Enggak kok, tadi disuruh Riri ngajarin Fisika.” Ia hanya tersenyum.
“Oh. Ya udah, ayo pulang Zhe. Udah laper gue.” Ajakku.
“Siap bos !!” Jawabnya, kami tertawa.
